GOLONGAN Karya atau Golkar sedari awal dirancang sebagai jalan keluar atas pertarungan ideologi partai politik di Indonesia pada dekade 1950-an oleh Presiden Soekarno, ujar peneliti dari University of New South Wales (UNSW) Australia Professor David Reeve, Selasa (28/3).
David Reeve yang juga menulis buku “Golkar, Sejarah yang Hilang” mengatakan Presiden Soekarno setelah Pemilu 1955 membawa ide untuk menggantikan partai-partai politik dengan golongan fungsional. Perwakilan golongan fungsional adalah dari golongan yang mempunyai “fungsi” di tengah masyarakat, seperti buruh, petani, wanita, pemuda, alim ulama, hingga pegawai pemerintah.
“Pemilu 1955 tidak mewujudkan sistem kepartaian seperti yang diharapkan sebelumnya, dan sejak 1956 Bung mengadakan kampanye yang didukung oleh Angkatan Darat untuk membubarkan partai-partai,” ujar Reeve dialog publik bertemakan “Golkar & Partai Tengah: Dialektika Partai Golkar dalam Transformasi Politik” di Golkar Institute, Jakarta.
“Golkar ini lahir sebagai alternatif partai. Parlemen akan berdasarkan golongan-golongan yang berfungsi, tidak didasarkan pada ideologi-ideologi, yang pada tahun 1950-an, dianggap justru memecah belah Indonesia,” ujar dia.
Pertarungan ideologi di Indonesia masuk hingga ke pelosok pedesaan pada 1954-1955 justru yang membahayakan Bangsa Indonesia, sehingga menurut Soekarno ideologi harus digantikan dengan golongan fungsional.
Gagasan Soekarno tentang golongan fungsionil atau golongan karya ini menurut David Reeve bukan gagasan baru, namun sudah berakar dalam masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara, menurut David Reeve menyebut bahwa Golongan Karya inilah yang dimaksud pada tahun 1940-an saat proses kemerdekaan dan penyusunan UUD.
“Waktu saya membaca perdebatan tentang penyusunan UUD 45, saya harus setuju bahwa ide-ide di belakang Golongan Karya sudah ada dari Bung Karno, Ki Hajar Dewantara dan Soepomo, seorang ahli hukum,” ujar dia.
“Waktu Indonesia menjadi merdeka yang diinginkan bukan banyak partai, tapi satu partai negara atau staats partai dengan organisasi di dalamnya golongan-golongan yang kemudian disebut golongan fungsional,” lanjut dia.
Menurut Soekarno dalam tulisan David Reeve, seorang petani bisa saja berbeda-beda, karena memiliki ideologi nasionalis, komunis maupun Islam. Golongan petani juga bisa dibedakan menurut asalnya, seperti Sumatera, Jawa maupun Sulawesi. Namun mereka tetap saja memiliki kesamaan identitas sebagai petani.
Ide Soekarno, sistem perpolitikan seharusnya dibangun dari sesuatu yang menyatukan rakyat, bukan malah ideologi yang menjauhkan mereka satu sama lain.
Artikel ini telah dimuat dalam G24NEWS.TV pada link ini